Jumat, 10 Mei 2013

Subuh


Mataku perih menahan kantuk,
Subuh ini, aku bercerita padaMu, aku selalu ingin berbagi ketika waktu-waktu ini
Dimana hanya kita,
Di saat sebagian, atau seperempat sedang bersama yang lain
Aku hanya ingin denganMu
Sebelum terbit fajar
Di saat aku bisa bersedu atas dosaku
Merasa kerdil dan memang aku kerdil
Aku hanya besar dengan nafsuku
Tak ada lain yang aku punya
Saat siang datang, aku sibuk pula bekerja
Saat malam datang, aku mendengkur
Jika aku lewati hari-hari seperti itu
Dimana Engkau kuletakkan?
Padahal, Engkau  bagi rezeki Mu tanpa hitungan
Aku minta maaf, lalu kuperbuat lagi,
Kuperbuat lagi, lalu aku minta maaf
Kenapa semua seperti siklus?
Dimana Engkau kuletakkan?
Aku kerdil, siapalah aku diantara semua ciptaanMu



Nasehatmu

Entah kenapa, tiba-tiba aku tak enak seperti ini. Padahal sudah kusimpan rona kecewaku sejak dari rumah tadi, mata memang tak pernah bisa bohong. Aku bicara sekenanya saja, berkomentar seperlunya saja. 

Tak lagi aku mudah mengagumi, seperti pada kebiasaan ku dulu, sedikit saja kau bicara tentang hebatnya kau, aku pun tak henti bilang wow dan membelalakkan mataku. Kini aku tak seperti itu lagi, bukan kau yang salah dengan segala hebatmu, juga bukan aku yang salah karena sangat mengagumi mu, dan aku pun tak tau salah siapa, sehingga aku begitu tak ingin lagi mendengar tentangmu. Sudahlah, kita hentikan lakon ini, setuju ku sendiri. Kejadian ini persis baru berlangsung 1 minggu yang lalu. Tak ingin kubahas, tapi hati dan pikiran ku yang sibuk membahasnya, bagaimana pula aku bisa istirahat sejenak?

Kembali ke perasaanku, aku wanita. Kau tau itu kan? Kau sering bilang aku makhluk perasaan, hey memangnya kau tidak punya perasaan? Bukan tak punya, tapi aku tau dimana dia ku tempatkan, setidaknya aku lebih profesional dibandingkan kamu, ini ucapan mu yang kesekian kali aku dengar. 

Kau tau kenapa sampai saat ini kau masih saja seperti ini? Padahal aku sudah menanamkan besi di hatimu, kenapa hatimu tak kunjung mengeras? Mengeras untuk cita mu, mengeras untuk menjadi orang baik. Kau lembek! Puih, lengkap dengan ekspresi mu yang monyong, lah aku? Aku tak tau lagi, seperti apa aku saat itu, begitu kau anggap. 

Satu lagi yang mesti kau ingat, kau malas! Kau malas untuk bergerak, bukannya sangat mudah untuk bergerak, logika saja lah, kau mau makan, kau mesti ke dapur kan, atau paling tidak kau mesti bergerak sedikit lah untuk dapat makanan. Tapi, nyatanya kau pemalas, pemalas tipe pembangkang. Setiap kali aku bicara seperti ini, aku seperti sedang merekam suaraku sendiri dalam dinding-dinding kedap ini, kenapa tak kau gunakan kupingmu untuk mengiyakan ku? 

Aku tak tau, kenapa kau tiba-tiba seperti loko uap, terus menyeruap. Lagi, aku diam. 
Malam ini, aku tak mendengarkan ocehan mu lagi, kemana kamu

Tulang rusuk


Kenapa harus tulang yang menyatukan kita?
Kenapa bukan mata saja, atau darah saja atau ginjal saja atau paru saja?
Sibuk kubayangkan, jika satu matamu ada di aku
Sibuk kubayangkan, jika seperliter darahmu ada di aku
Atau satu lobus paru mu ada di aku
Kau pasti akan segera pasang pengumuman, dibutuhkan donor mata
Donor darah, donor paru
Lalu, mungkin kita tak akan bertemu
Karena kekuranganmu telah kau diisi dengan donor yang lain
Sampai saat ini, aku tak pernah baca pengumuman dibutuhkan donor rusuk
Mungkin ada, mungkin aku saja yang kurang baca
Hingga saat kau temukan aku,
Kekuranganmu pun tak kan sempurna ku tutupi
Tadi setidaknya,
Setelah tulang rusukmu kau temukan
Kau bisa lihat dengan terang, tubuhmu bisa bermetabolisme dengan lancer, parumu bisa kembang kempis dengan sempurna.
Terima kasih Tuhan, karena Tulang yang kau hilangkan,
Bukan yang lain.



Meracau



Salahku, ketika ku biarkan kau meraut bambu
Kita bicara tentang anak-anak  yang kita lahirkan dari kayu
Lalu kau sulam benang sebagai tulang
Kau tanam serbuk sebagai air mata
Salahku, ketika kubiarkan kau melayangkan anak kita ke atas pusara
Kita berkejar-kejaran
Mengulur anak-anak kayu kita
Tapi, itu salahmu
Kau tak pernah angkat mata
Taumu hanya menyulam saja, merajut lalu menanam
Sekarang kita sudah tak berangin
Pusara itu sudah berkamuflase
Kau harus gunakan kaca tigadimensimu
Agar aku, selalu hidup dalam jiwamu
Simpan aku, simpan anak kita