Langit sore ini biru seperti biasa, angin pun berhembus biasa, sama
halnya dengan anak-anak yang bermain layang-layang di lapang masjid.
Aku
menghitung, setiap kali kubersihkan asbak kaca itu. Berapa puntung
rokok yang sudah dihabiskan, satu-dua semakin bertambah saja jumlahnya.
Tak perlu aku yang memulai bicara duluan, waktu yang akan mengantarkan
aku pada saat itu. Untuk saat ini, aku pun ikut diam.
Ada
saja yang mengingatkan ku tentangmu, seperti halnya dengan daster yang
kukenakan sekarang, ini daster yang paling kau senangi kan ibu? Kau
selalu meminta aku untuk menggosoknya. Kau selalu cantik, cantik sekali,
bahkan dalam mimpiku dua pekan yang lalu, kau terlihat lebih muda.
Sesekali
kupandangi fotomu, sibuk kucari kesamaan dalam rautmu. Kau jauh lebih
cantik ternyata dibanding aku. Betapa beruntung nya Bapak, memiliki
istri sepertimu.
Andai bisa aku cerita, aku ingin sekali bertanya, bagaimana cara membaca mata laki-laki?
Laki-laki
itu lebih memilih diam dan berdiskusi dengan dirinya sendiri ditemani
berbatang-batang rokok, ah seandainya aku bisa jadi teman curhat Bapak,
bergelayut di bahu nya. Sudah lama memang, aku tak melewatkan moment itu
dengan Bapak.
Dan puntung-puntung rokok yang semakin bertambah itu pun terjawab.
Tak kutanyakan memang, aku mendengarnya langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar